Terpopuler 24 Jam Terakhir
1
Hadapi Australia, Timnas U 16 Indonesia Siap Tampilkan Permainan Terbaik
Olahraga
14 jam yang lalu
Hadapi Australia, Timnas U 16 Indonesia Siap Tampilkan Permainan Terbaik
2
Menpora Dito Optimistis Indonesia Bisa Bersaing di Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026
Olahraga
12 jam yang lalu
Menpora Dito Optimistis Indonesia Bisa Bersaing di Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026
3
Semarak Warna-warni LRT Jakarta 2024 Edukasi Penggunaan Transportasi Publik
Pemerintahan
13 jam yang lalu
Semarak Warna-warni LRT Jakarta 2024 Edukasi Penggunaan Transportasi Publik
4
Indonesia ke Semifinal Hadapi Korea Selatan
Olahraga
13 jam yang lalu
Indonesia ke Semifinal Hadapi Korea Selatan
5
Rekomendasi 5 Oven Mito Terbaik 2024, Menghasilkan Panas Merata dengan Daya Low Watt
Umum
11 jam yang lalu
Rekomendasi 5 Oven Mito Terbaik 2024, Menghasilkan Panas Merata dengan Daya Low Watt
6
Taufik/Rinjani Buka Keunggulan Indonesia Lawan Jepang
Olahraga
14 jam yang lalu
Taufik/Rinjani Buka Keunggulan Indonesia Lawan Jepang
Home  /  Berita  /  Pemerintahan

Poros Rawamangun Sebut Perlu Badan Regulasi Air Cegah Land Subsidance

Poros Rawamangun Sebut Perlu Badan Regulasi Air Cegah Land Subsidance
Ketua Poros Rawamangun Rudi Darmawanto saat berbicara pada Diskusi "Jakarta Tenggalam Krisis Air Tanah". )Ist)
Kamis, 13 Juni 2024 11:25 WIB
Penulis: Azhari Nasution
JAKARTA - Penggunaan air tanah secara berlebihan dapat memicu terjadinya penurunan muka tanah (land subsidance). Mengingat pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan waspada kebencanaan maka diperlukan berbagai upaya preventif.

Dalam diskusi publik bertajuk "Jakarta Tenggelam Krisis Air Tanah" di Gedung Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur, Ketua Poros Rawamangun, Rudy Darmawanto mengatakan, penggunaan air tanah sudah seharusnya dibatasi dan diawasi secara ketat.

"Kami mendorong dibentuk Badan Regulasi air. Kalau penggunaan air tanah tidak diawasi dan dibatasi dengan ketat maka penurunan muka air tanah semakin menjadi, dapat dipastikan Jakarta akan cepat tenggelam," ujarnya, melalui keterangan tertulis, Kamis (13/6).

Ia menuturkan, Jakarta sangat membutuhkan konsentrasi penting agar kebutuhan air bersih melalui sistem perpipaan dapat terpenuhi atau dengan cakupan 100 persen.

"Kami sangat mendukung Perumda PAM Jaya melakukan akselerasi cakupan 100 persen layanan air bersih melalui sistem perpipaan," ujarnya, melalui keterangan tertulis, Kamis (13/6).

Rudy menjelaskan, Perumda PAM.Jya juga perlu melakukan peremajaan pipa-pipa lama untuk menekan non-revenue water.

"Banyak pipa yang ada saat ini sudah berusia tua. Bisa ada kebocoran hingga korosi," terangnya.

Menurutnya, jika ada rencana untuk melakukan penyesuaian tarif maka Perumda PAM Jaya bisa menerapkan skema kelas. Artinya, ada perbedaan untuk entitas bisnis dan skala rumah tangga, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

"Kami akan memperjuangkan agar penyesuaian tarif tidak memberatkan MBR. Sehingga, mereka juga tidak menggunakan air tanah," ungkapnya.

Direktur Pelayanan Perumda PAM Jaya, Syahrul Hasan mengungkap beberapa kendala yang dialami perusahaannya karena masih belum dapat memenuhi pasokan air minum bagi warga Jakarta.

Ia memaparkan, selisih kekurangan bagi kebutuhan air bersih warga Jakarta mencapa 11 ribu liter perdetik dari tingkat kebutuhan pasokan air yang mencapai 31 ribu liter perdetik.

Tingginya selisih kekurangan itu salah satunya karena Perumda PAM Jaya baru dapat mengoptimalkan air bersih dari dua sungai di Jakarta, yakni Sungai Ciliwung dan Sungai Pesanggrahan. Sementara pengelolaan Sungai Krukut baru tahun ini dikelola Perumda Pam Jaya.

"Dalam hal jangkauan pengelolaan air bersih, saat ini Pam Jaya baru memiliki jaringan perpipaan air bersih yang menjangkau sebanyak 65 persen warga. Masih kekurangan 35 persen dari total kebutuhan," ucapnya.

Pengamatan Jakarta, Budi Siswanto menyampaikan keprihatinan mendalam karena masih tingginya penggunaan air tanah untuk memenuhi kebutuhan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta.

"Ada sekitar 3.000 sampai 4.000 gedung-gedung tinggi di Jakarta, namun sayangnya hanya sekitar 200 gedung yang memiliki izin pengelolaan air bersih," tegasnya.

Untuk itu, imbuh Budi, dibutuhkan pengawasan mendalam soal izin pengelolaan air bersih agar tidak menimbulkan masalah di tengah krisis air akibat menurunnya permukaan tanah.

Hal senada diungkapkan oleh Pengamat Lingkungan, Ferly Sahadat. Ia menyangkan tidak adanya Badan Regulasi Air yang dibutuhkan warga Jakarta di tengah krisis penggunaan air tanpa izin.

Terlebih, dari hasil pemantauan muka tanah (amblasan tanah) dengan melakukan pengukuran secara visual dan pengukuran menggunakan alat geodetic, ditemukan secara umum laju penurunan tanah di wilayah Jakarta berkisar antara 0- 18,2 sentimeter per tahun.

"Untuk lokasi yang memiliki laju penurunan tanah paling cepat yaitu di daerah Ancol, Pademangan dan Muara Baru, Jakarta Utara. Badan Geologi mencatat, penurunan muka tanah ini juga akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan. Pasalnya, lebih dari 4.500 sumur produksi mengambil air tanah Jakarta untuk keperluan komersil," pungkasnya. (Riyan). ***

wwwwww